Tarik Ulur UU Ciptaker: WALHI vs Pemerintah Soal Masa Depan Lingkungan

Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono (source: ig@diaz.hendropriyono)

Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono (source: ig@diaz.hendropriyono)

kuncen.id – WALHI menyeret UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi, menuding aturan ini jadi karpet merah terhadap eksploitasi lingkungan.

Memperingati Hari Lingkungan Hidup, WALHI bersama Tim Advokasi untuk Keadilan Ekologis resmi mengajukan uji materiil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.

Gugatan UU Ciptaker tersebut berfokus pada klaster lingkungan hidup yang dinilai menimbulkan masalah serius. WALHI menilai sejumlah pasal dalam UU tersebut berpotensi merusak prinsip keadilan ekologis dan melemahkan perlindungan lingkungan.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, menegaskan bahwa penerapan UU Cipta Kerja telah menimbulkan keresahan di masyarakat dan memberikan dampak nyata terhadap lingkungan hidup.

“Berlakunya UU ini meruntuhkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang semestinya ditopang oleh upaya perlindungan lingkungan yang demokratis,” ujar Zenzi dalam keterangan pers yang dipublikasi Kamis,(5/6/2025).

Pasal Bermasalah

Permohonan WALHI menyoal pasal-pasal bermasalah, di antaranya Pasal 13 huruf B dan Pasal 22 angka 1 hingga 28. Ketentuan ini dianggap mengaburkan jaminan perlindungan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan.

Pasal 22 angka 18, misalnya, menyebut pencabutan izin lingkungan tidak otomatis membatalkan izin usaha. Menurut WALHI, hal ini melemahkan pengawasan negara terhadap kegiatan usaha berpotensi merusak lingkungan.

Salah satu persoalan penting adalah pembatasan partisipasi masyarakat dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). UU Cipta Kerja hanya memberi ruang pada masyarakat terdampak langsung.

Model partisipasi ini mengabaikan peran masyarakat luas dan organisasi lingkungan yang selama ini menjadi pengawas independen dalam proses penilaian dampak lingkungan.

Selain itu, perubahan kelembagaan dari Komisi Penilai AMDAL menjadi Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup dianggap mengurangi kanal partisipasi publik. Unsur masyarakat sipil tidak lagi terlibat secara memadai.

WALHI juga menyoroti kebijakan yang menitikberatkan pada sistem informasi berbasis digital. Mekanisme ini dinilai bias terhadap masyarakat pedesaan atau wilayah terpencil yang minim akses internet.

Kesenjangan infrastruktur tersebut dapat membatasi hak warga untuk mengetahui, mengawasi, dan terlibat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup di daerah mereka.

Landasan Konstitusional Gugatan

Kuasa hukum WALHI, Mulya Sarmono menyampaikan bahwa uji materiil ini berdasar pada beberapa pasal UUD 1945. Antara lain Pasal 1 ayat (3) tentang negara hukum serta Pasal 28H ayat (1) mengenai hak lingkungan hidup.

Selain itu, Pasal 28C ayat (1) dan (2) tentang pengembangan diri serta perjuangan hak kolektif juga menjadi dasar gugatan. Pasal 28F mengenai hak atas informasi turut dijadikan batu uji.

“Pasal-pasal ini menjadi dasar konstitusional untuk menguji keabsahan pasal-pasal yang kami anggap bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Dalam kajian kami, pasal-pasal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dijamin dalam UUD 1945,” ujar Mulya.

Menurutnya, pasal-pasal UU Cipta Kerja yang dipersoalkan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi tersebut.

Sikap Pemerintah

Pemerintah melalui Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono menyampaikan keterangan Presiden dalam sidang MK. Senin, (25/8/2025). 

Pemerintah menegaskan UU Cipta Kerja dirancang untuk menyederhanakan regulasi, bukan mengurangi perlindungan lingkungan.

Pemerintah juga menilai dalil WALHI tidak memiliki kedudukan hukum kuat. Kerugian yang diklaim dianggap bersifat asumtif dan tidak mencerminkan kerugian aktual yang dialami pemohon.

Terkait partisipasi publik, Pemerintah menyatakan mekanisme tidak dikurangi. Partisipasi difokuskan pada masyarakat terdampak langsung agar masukan yang diperoleh lebih substantif dan relevan.

Pemerintah menegaskan persetujuan lingkungan tetap wajib. Tanpa persetujuan tersebut, izin usaha tidak dapat diterbitkan, sehingga tidak ada ruang bagi kegiatan yang melanggar aspek lingkungan hidup.

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi meminta penjelasan tambahan dari Pemerintah. Salah satunya terkait tumpang tindih regulasi yang dijadikan alasan revisi dalam UU Cipta Kerja.

Hakim Enny Nurbaningsih menekankan perlunya uraian jelas mengenai obesitas regulasi yang disebut sebagai dasar perubahan aturan. Data pembanding kondisi lingkungan sebelum dan sesudah UU juga diminta.

Hakim Arief Hidayat mengingatkan bahwa pengelolaan lingkungan menyangkut keadilan antar generasi. Menurutnya, kesalahan kebijakan saat ini akan berdampak hingga masa depan.

Proses pendaftaran perkara diwarnai pembatasan kebebasan berekspresi terhadap massa solidaritas di sekitar Gedung MK. Namun, permohonan tetap resmi tercatat setelah Akta Registrasi Perkara Konstitusi dikeluarkan.

Tim kuasa hukum WALHI menyatakan siap menghadapi persidangan lanjutan. Mereka optimistis MK akan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan keadilan ekologis dalam putusan akhir.

Penulis: Yusep Maulana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *